Rabu, 20 Juni 2012

PENGGUNAAN CEK KOSONG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN DAN PRAKTEK PENYELESAIANNYA DI INDONESIA


Surat cek sebagai salah satu surat berharga adalah merupa­kan alat pembayaran tunai secara giral sebagai pengganti uang kartal. Pengguna cek sebagai alat pembayaran transkasi telah dikenal sejak zaman sebelum perang dunia ke II. Saat itu Indonesia sebagai negara tujuan perdagangan utama memandang cek sebagai sebuah alat pembayaran yang paling mudah digunakan.
Kemudahan dalam pembayaran dengan cek sering kali memunculkan penyimpangan penyimpangan dalam penggunaaannya, contohnya  cek kosong. Cek Kosong yaitu dimana tidak tersedianya dana ketika cek dicairkan atau diperlihatkan.
Berikut adalah contoh kasus yang saya kutip dari  Sriwijaya Post – Rabu, 22 Juli 2009 :
Kasus :
Dalam kasus cek kosong yang terjadi di Palembang antara PT Pulau Hijau Asri (PHA) yang melaporkan Siti Faridah karena telah menerbitkan cek kosong bernilai Rp 2 miliar dan Rp 1,2 miliar. Penipuan cek kosong tersebut bermula dari perjanjian pokok yaitu kontrak jual beli crude palm oil (CPO)  antara PT Pulau Hijau Asri dengan Siti Faridah, dimana perjanjian kontrak tersebut bernilai Rp3,2 milyar.

Penyelesaian :
Penyelesaian masalah yang timbul dalam praktek penggunaan Cek kosong  sebagai alat pembayaran di Indonesia adalah bahwa cek tersebut dapat ditagihkan kemudian hari sebelum habis masa pengunjukannya yaitu 70 hari. Tetapi apabila masa pengunjukkan selama 70 hari cek telah lewat dan cek masih ditolak karena belum tersedianya dana, maka masih dapat dimintakan dana sampai waktu selama 6 bulan terhitung  mulai hari penerbitan semula. Setelah waktu 6 bulan telah lewat (daluwarsa), pemegang cek  masih dapat melakukan Hak Regres.
Hak regres adalah hak yang diberikan oleh undang- undang kepada pemegang surat berharga dalam hal terjadi non akseptasi atau non pembayaran. Hak regres atau hak recourse dalam kamus Bank Indonesia adalah Hak Pemegang Surat Wesel/cek/surat sanggup untuk menagih penarik/endosan/avalis guna mendapatkan pembayaran jika pihak tertarik menolak melakukan pembayaran (recht van regres) dan Recourse juga diartikan hak alih bayar. Hak regres diatur di dalam Pasal 142 sampai dengan Pasal 153 KUHD.
Adapun melakukan hak regres dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
  1. Dengan melakukan protes, yang dapat dilakukan dengan  2 macam cara yaitu dengan akte otentik dan dengan protes sederhana.
    1. Dengan akte otentik yaitu tindakan yang dilakaukan pemegang dalam hal terjadi penolakan pembayaran atau non akseptasi yang dibuat dihadapan notaries atau juru sita yang diikiuti oleh 2 orang saksi. Akta tersebut adalah akta tentang penolakan pembayaran atau non akseptsasi (pasal  143 (b) dan (c)).
    2. Dengan protes sederhana, tidak memakai formalitas tertentu artinya tidak harus dibuat dalam akta tersendiri. Protes ini dilakukan dalam hal tidak ada klausuka yang melarang protes sederhana, pemegang tidak ingin melakukan protes otentik, pihak yang diprotes  bersedia memberikan bantuannya yaitu dengan cara menuliskan pernyataan pada surat beharga bahwa akseptasi dan pembayaran ditolak.
2.       Dengan melakukan notifikasi yaitu pemberitahuan dari pemegang kepada penerbit dan kepada endosan sebelumnya tentang adanya penolongan akseptasi dan pembayaran dalam waktu 4 hari kerja sesudah protes. Endosan yang menerima pemberitahuan harus memberitahukan endosan lainnya dalam tenggang waktu 2 hari kerja sejak saat ia menerima pemberitahuan. Namun notifikasi ini tidak merupakan  unsur yang mutlak dalam melakukan hak regres dan Undang-Undang tidak menegaskan bagaimana cara melakukan notifikasi sehingga ditafsirkan bebas, baik dilakukan secara lisan atau tertulis.
Dalam praktek didunia perbankan apa yang disebut dengan hak regres didalam pelaksanaanya ternyata dihindari oleh pihak-pihak yang terkait dalam peredaran surat wesel. Hal ini disebabkan oleh karena:
1. Dari pihak penerbit (Nasabah), pihak perbankan (tertarik), pihak pemegang (pembeli)   tidak mengetahui apa hak regres
2. Prosedur yang diprasyaratkan dalam melaksanakan hak regred tidak / kurang memenuhi keinginan / harapan mereka.
3. Adanya kesepakatan (walaupun tidak dilakukan secara langsung / nayata) bahwa pihak-pihak yang bersangkutan secara bersama-sama menghindari hak regres.
4. Bahwa pelaksanaan hak regres dapat mengurangi cacat nama terhadap pihak-pihak tertentu.
Namun pada dasarnya, setelah hak regres ini ditempuh, tetapi masih belum dilakukan pembayaran, maka pemegang surat beharga dapat kembali kepada perjanjian pokok. Dimana jika kita kaitkan dengan kasus yaitu perjanjian kontrak jual beli crude palm oil (CPO) antara Siti dan PT PHA yang senilai Rp 3,2 miliar.  Di dalam perjanjian kontrak jual beli tersebut, Siti Faridah yang merupakan warga negara Malaysia berkewajiban membayar Rp 3,2 milyar terhadap pembelian crude palm oil (CPO) terhadap PT Pulau Hijau Asri (PHA).
Adapun di dalam perjanjian kontrak jual beli untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat sesuai dengan ketentuan psl 1320 KUHPerdata yaitu:
1.  sepakat mereka yg mengikatkan dirinya;
2.  kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.  suatu hal tertentu;
4.  suatu sebab yg halal.

Bila sepakat sudah tercapai, maka perjanjian jual beli  tersebut telah sah dan mengikat serta berlaku sebagai Undang- Undang  bagi mereka yaitu bagi Siti Faridah dan PT PMA. Kata sepakat ini juga menciptakan hak dan kewajiban bagi penjual dan pembeli. Penjual dalam hal ini PT PMA berkewajiban untuk menyerahkan hak milik atas benda yang dijual belikan yaitu crude palm oil (CPO), menjamin kenikmatan tenteram atas benda tersebut dan menanggung cacat benda yang tersembunyi.  Pembeli berhak untuk menerima barang atau benda yang diperjualbelikan dari Penjual dan berkewajiban untuk membayar harga sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Jadi jika penjual sudah melaksanakan kewajibannya aka penjual juga berhak menerima harga barang berupa sejumlah uang pada waktu dan tempat sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian.
Namun dalam kasus “Utang Rp 3,2 Miliar Dibayar Cek Kosong” ini PT PMA tidak mendapatkan hak nya yaitu uang pembayaran senilai Rp 3,2 milyar sesuai dengan perjanjian jual beli yang telah mereka sepakati.  Sehingga yg dapat dilakukan oleh PT PMA adalah menggugat pihak tersebut dengan dasar wanprestasi yaitu secara lengkap adalah tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perjanjian,atau melanggar perjanjian, yaitu melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Dalam  hal ini dengan dasarnya bahwa belum  dipenuhinya prestasi dari pihak pembeli yaitu Siti Faridah untuk melakukan pembayaran kepada pihak penjual (PT PMA).  Gugatan atau sanksi bagi pelaku wanprestasi dapat berupa menuntut ganti rugi(psl 1243 KUHPerdata) yg terdiri dari 3 unsur yaitu :
1. biaya, yaitu semua pengeluaran/ongkos yang secara nyata telah dikeluarkan oleh PT PMA;
2. ganti rugi, yakni kerugian karena kerusakan barang milik kreditur yg diakibatkan kelalaian debitur;
3. bunga, kerugian yg berupa kehilangan keuntungan yg telah direncanakan oleh PT PMA. Hal ini dapat juga dimintakan pembatalan perjanjian melalui pengadilan (psl 1266 KUHPerdata),atau membayar biaya perkara bila diperkarakan di pengadilan.
Selain menggugat di bidang perdata, PT PMA dapat juga menggugat Siti Faridah di dalam bidang pidana yaitu terkait masalah penipuan. Penipuan adalah sebuah kebohongan yang dibuat untuk keuntungan pribadi tetapi merugikan orang lain. Pasal 378 KUHP merumuskan sebagai berikut:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”

            Akibat dari Cek kosong adalah bank wajib memberikan surat peringatan 1,2 kemudian surat pemberitahuan penutupan rekening nasabah jika menarik cek kosong 3 lembar/lebih dalam jangka waktu 6 bulan, menarik cek kosong 1 lembar dengan nominal Rp1 Milyar atau lebih, dan namanya tercantum dalam daftar hitam yang masih berlaku. Ketentuan mengenai Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong diatur dalam:
  1. SEBI  No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
  2. SEBI No. 4/ 17/ DASP Perihal Perubahan Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
  3. SEBI No. 8/ 17/ DASP Perihal Perubahan Kedua Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong
  4. SEBI No. 8/ 33/ DASP Perihal Perubahan Ketiga Surat Edaran No. 2 / 10. DASP Perihal Tata Usaha penarikan Cek/ Bilyet giro kosong


Tidak ada komentar:

Posting Komentar